Jumat, 30 September 2011

Backpacker: Sang Petualang Dunia Sejati (tulisan luar biasa dari rhenald kasali)

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki surat ijin memasuki dunia global. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril.

Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?

Saya katakan; saya tidak tahu.

Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint atau kendala. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya. Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport. Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu Tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat.

Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali – Guru Besar Universitas Indonesia

Ranukumbolo Nan Eksotis

Okelah semuanya, pasti bertanya-tanya mana sih Ranukumbolo itu? Ranukumbolo adalah sebuah danau di kaki gunung Semeru yang sangat eksotis banget, ngak rugi dah kalo hiking ke sana. kita akan disuguhi danau yang luas nan jerih dan dikelilingi oleh bukit yang sangat bagus banget. Ranukumbolo terletak di Lumajang Jawa Timur tingginya 2400 mdpl. ini adalah adventur ku bersama teman-teman menjuju Ranukumbolo. Kita berlima ( aku, Fajar dari Solo, Daia dari Malang, Hamdan dari Pujon dan mbah oyon dari Cirebon akan hiking bareng ke Ranukumbolo. Kita berangkat sebenernya jam 08.00 dari rumah tapi karena masih ngurus tetek mbengek kayak sewa tenda, SB, lampu dll molor sampe 11.30 deh tapi ngak apa-apalah demi menuju ranukumbolo.

Setelah kelar ngurus apa ini apa itu langsung tancap gas biar ngak kesiangan tapi ada lagi yang kurang yaitu mampir ke Indomaret ama Apotek untuk beli bekal yang kurang. AKu sudah ngak sabar pengen cepet nyampek tuh okelah kita cabut gas pol rem pol dah. Akhirnya sampe juga tapi bukan nyampek ke ranukumbolo masih jauh tu, akan tetapi sampe kantor buat perizinan kita tepatnya di daerah Tumpang. setelah setengah jam menunggu akhirnya selesai juga. Banyak juga orang yang mau izin ke sana setelah SDSB mereka ada yang dari SBY, Jombang dll banyak pokoknya.

Lanjut......kita pun tancap gas lagi memburu waktu supaya sampek ksana ngak kesorean, akhirnya nyampek poncokusumo juga. Di sana kita disuguhi pemandangan yang oke punya juga, kanan kiri jalan banyak pekarangan apel poncokusumo milik warga. Ah pengen banget metik satu aja tapi apa daya cuma pengen doang coz buru waktu biar bisa sampek sana ngak kesorean. Hawa dingin mulai mencabik-cabik kulit kita, dinginya minta ampun padalah tu di poncokusumo belum lagi di Ranukumbolo.

Dari Poncokusumo kita melewati The rainbow coban ( Coban pelangi ), dari Coban pelangi masyaallah medanya bukan main nanjaknya sampek sepeda motor yang aku tumpangi tersiksa maksudnya ngak kuat, okelah aku turun aja biar bebanya berkurang. Pokoknya banyak tanjakanya lah. Akhirnya kita sampe desa Ngadas juga yaitu desa dimana Suku Tengger tinggal. Kita terus melanjutkan perjalanan kita , tapi gitu jalanya di samping tanjakan tambah aspalnya mengelupas lagi alias broken pooool, turun lagi sampek ngos-ngosan. Biarlah demi Ranukumbolo.
Akhirnya setelah melewati trecking yang memacu adrenalin sampek juga di Ranupane ( Pos perizinan juga).
Kita sampai di Ranupane sekitar jam 14.30, rasanya gak karuan dari pegel-pegel linu campur jadi satu. Suasana dingin tambah merasuk dalam tubuh, dinginya juga minta ampun bos, kagak nahan. kita pun mulai mengambil air wudhu dan sholat berjamaah, eh tapi sebelum sholat kita lapor lagi ke pos perizinan untuk menyerahkan surat dari Tumpang tadi ya cuma itu doang sih. Setelah sholat ada yang laper dan yang mau langsung melanjutkan perjalaanan. Wah ki enak mangan bakso, adem-adem jan cocok ki, kata si Fajar tu. Dia dah laper banget katanya tapi aku ngak ikut, cuma memandang dari jauh (asline pengen hehehh). Setelah semuanya kelar kita pun berangkat menuju Ranukumbolo.

Jalan pertama dari Ranupane itu aspal tapi setelah berjalan sekitar 1 KM jalan dah kagak aspalan alias tanah, tapi kagak becek karena ya ngak hujan. Huft  Hai .....aku baru berjalan beberapa KM aja dah ngos-ngosan bro, jalan pertama itu sedikit nanjak walaupun sedikit itu juga menguras  tenaga banget. Aku liat yang laen tu ngak ngos-ngosan kenapa aku aja yang ngos-ngosan. Mungkin ini kurang latihan fisik sih sebelum berangkat jadi ngos-ngosan. Bandingkan aja mereka semua tuh dah hobi banget hiking pasti juga dah menguasai medan. Ada Hamdan, Fajar, Daia itu sudah pernah malah sampek puncak semeru, lha aku, apa ? mungkin baru Bromo aja itupun cuma 1 jam nyampek. Akhirnya setelah berjalan selama kurang lebih 40 menit dengan melewati trecking yang naik turun, belok kanan kiri , semak belukar, sampe juga di pos 1. Di sana sudah ada pendaki yang laen, kalo aku liat-liat sih mereka itu bule, Postur tinggi besar pakai sepatu both semua, mata biru, pakai bahasa yang aku kagak ngerti dah. Setelah rest/istirahat beberapa menit kita pun melanjutkan perjalanan.

Jarak yang kita tempuh dari pos 1 ke pos 2 lumayan deket paling cuma sekitar 30 menit deh kayaknya. Di dalam perjalan, aku banyak menemui binatang bermarga aves, ya apa itu? masak kagak tau sih , coro gampange yo manuk lah hehehheh. Burung-burung banyak yang seliweran , ada yang kecil banget juga ada yang sedang. Lagi-lagi aku ketinggalan ama temen2 mereka dah jauh banget sedangkan aku masih menikmati alam (padahal ngos2san heheh) akhirnya nyampek juga di pos 2.

Setelah sampek di pos 2 aku ngak istirahat tuh, wah lagaknya kayak kuat2 aja tapi sebenernya capek banget tapi aku tahan hehhehe. aku teruskan perjalananku yang lama banget akhirnya nyampek di pos 3 juga. aku istirahant sebentar di situ , teman2 dah duluan tu kayak Daia, Hamdan dll mereka tu kayak punya ilmu meringankan tubuh aja deh, bikin ngiri aja. Meninggalkan pos 3 itu sangat berat, bayangkan aj setelah pos 3 itu treckingnya nanjak banget sekitar 50 meteran. Tapi aku kuatkan agar bisa nyampek dah walaupun jantung mau copot. Aku ngak bisa ceritakan semuanya dah lama banget kalau aku ceritakan smeuanya jadi novel nanti hehehhee. singkat cerita aku dah melewati trecking semuanya akhirnya nyampek juga di Ranukumbolo. Puas banget rintangan2 dan payah dibayar dengan keindahan Ranukumbolo yang eksotis.

Blitar, Makam Bung Kar

  • Blitar, Makam Bung karno

    Setiap detik, setiap menit aku selalu memikirkan trip ke depan, pokoknya dah jatuh cinta dah ama trip. Hari itu aku ngak tau mau ke mana, pikiran dah pusing. Mungkin kini aku kena virus itu tuh Backpacking stadium 4. Yang dipikirkan cuma jalan-jalan ala Backpacker doang. Padahal waktu itu fulus dah menipis banget. Gaji bulan itu juga belum cair, wah parah deh. eeeeeeeeeeeee datang si Udin sedunia alias Syafiudin, dia asli Aremania juga suka jalan2. '''  Bas ndwe acara gak? ''', tanya si Udin. '''  wah aku lagi  free saiki din "',  jawabku. Yows ayok jalan-jalan nek Blitar ae. Tampa pikir panjang aku langsung mengiyakan ajakanya. lha wong wes keno virus jalan2.

    Tapi di sana bukan murni jalan2 sih, dia punya tender untuk mengerjakan pembuataan tanggalan salah satu sekolah negeri di Blitar sana. langsung saja aku siap2 ke sna. Ayo aku wes siap ki. Kita berangkat kira2 jam 07.00, perjalanan kurang lebih 1 setengah jam lah dan sampek sana 08.30. Tapi yang buat jantung ku mau copot tu gaya mengendarai motornya tuh. Bayangkan aja motornya Satria F yang terkenal banter tu kayak rosi, selip kanan selip kiri pokoknya memacu adrenalin ku dah. Coba rasakan nyelip truck dan diantara truck2 gede banget.

    Setelah kelar dengan kerjaanya , kita langsung menuju makam Bung Karno dengan bertanya2 ama warga sna. soalnya kita juga belum pernah ke sana. kalau ke Blitar sih bolak-balik tapi mampir di Makam Bung karno belum. Sebelum nyampe sna kita sempet nyasar di parkiran Bus yang sedang ziarah ke sana. Tapi setelah tanya2 ama pedagang akhirnya kita dapat pencerahan juga. Ternyata perjalan masih sekitar 1 KM. Kita langsung tancap gas untuk sampe ke sana karena dah sore. Sampe juga di Makam bung karn0. Sebelum masuk kita parkir dulu. Di sana parkirnya murah lah, bandingkan aja biasanya buat parkir untuk tempat wisata2 kan mahal tapi di sini kita cuma ditarik 1000 rupiah.

    Di keliling makam banyak pedagang yang membuat kios2 kecil dan juga di dalam area ada pedagang yang menjajakan bunga untuk ziarah. Kita pun masuk ke makam bung karno sambil mendoakan arwah Bung karno semoga amalanya dapat diterima disisinya. Setelah selesai di Makam kita keluar lewat jalur khusus disana juga banyak kios2 yang menjajakan souvenir tentang bung karno dan Blitar. Ada sekitar 73 kios di sana, wah rame banget lha wong jalanya sempit banget. setelah muter2 sambil poto2 pakai  camera DSLR akhirnya kelar juga, eeee kita pun tak melewatkan poto ama patung Bung kaarno. ..........sampai di sini ceritaku, mana ceritamu.